Rabu, 23 Juni 2010

67 Tahun Perjalanan Autisme, Misteri yang Belum Terungkap


Teks: Nanan Isman Salman
Majalah Anak Spesial




Temple Grandin adalah seorang pemudi autis. Ia melihat dunia tidak seperti orang kebanyakan. Ia memfoto dunia dalam pikirannya dan mengingat semuanya tanpa berpikir. Grandin menggantikan pola kontak manusia dalam merawat binatang peliharaannya. Lalu ia mengembangkan metode yang manusiawi untuk merawat ternak yang akan dikirim ke rumah jagal.


Keterampilan komunikasinya yang khas itu sering disalah-pahami oleh teman-temannya, orangtuanya, dan guru-gurunya, selama hidupnya. Tapi seiring waktu berlalu, dia menunjukkan pada semuanya, bahwa ia mampu unggul di semua tingkat sekolah. Ia bahkan mampu meraih gelar doktor, sebuah tingkatan akademis tertinggi. Kini, Grandin berhasil mengajar orang-orang yang sering salah dalam memahaminya itu dengan sebuah alur cerita yang penuh pelajaran baru dalam hidup.


Kisah Temple Grandin di atas merupakan sebuah perjalanan yang direkam lewat film tentang hidupnya sendiri. Melalui film itu, orang-orang yang salah dalam memahami diri Grandin yang autis menjadi sadar dan terperangah betapa seorang individu autistik masih mempunyai harapan dan masa depan cerah. Sebagai seorang autis, Grandin ingin membuktikan bahwa ia tetaplah seorang manusia.

Sekilas Sejarah Autisme
Temple Grandin memang bukanlah manusia autis pertama. Ia bukan pula satu-satunya individu autistik yang berhasil mandiri dan berdiri sejajar dengan manusia normal lainnya. Tapi perjalanan hidupnya menjadi penting dalam menyusuri perjalanan sejarah autis. Grandin berhasil mengukir prestasi gemilang dalam hidupnya di tengah berbagai keterbatasan sebagai seorang autis.


Inilah mengapa membicarakan sejarah autis tanpa melihat Temple Grandin bukanlah sebuah upaya yang bijak. Dengan melihat perjalanan hidup Grandin, definisi dan dampak autis seolah tidak lagi angker.


Kata autis berasal dari bahasa Yunani “auto” yang berarti sendiri. Hal ini ditujukan pada seseorang yang mempunyai gejala “hidup dalam dunianya sendiri”. Pada umumnya, penyandang autis mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan situasi atau malahan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial, baik pandangan mata, sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak sebayanya dan sebagainya.

Autisme ditemukan pertama kali oleh seorang ahli kesehatan jiwa bernama Leo Kanner pada tahun 1943. Kanner menjabarkan tentang 11 pasien kecilnya yang berperilaku aneh yaitu asyik dengan dirinya sendiri, seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri dan menolak berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya.


Kanner menggunakan istilah “autism” yang artinya hidup dalam dunianya sendiri. Kanner berhipotesa bahwa pada anak autis terjadi gangguan metabolisma yang telah dibawa sejak lahir. Namun karena pada masa itu alat-alat kedokteran tidak memungkinkan Kanner melakukan penelitian, maka hipotesanya belum dapat dibuktikan.


Kira-kira setahun kemudian Hans Asperger (1906-1980) menemukan gambaran yang hampir mirip dengan autisme pada remaja dan akhirnya disebut sebagai sindroma Asperger. Beberapa literatur memasukkan sindroma ini ke dalam subkategori autisme, namun masih merupakan perdebatan apakah sindroma ini dapat dimasukkan ke dalam salah satu jenis autisme ataukah merupakan jenis yang berdiri sendiri.


Pada awal perang dunia II seorang Yahudi dari Wina bernama Bruno Bettleheim, mengaku dirinya seorang ahli pendidikan dan psikolog lulusan Wina bahkan ia mengaku sebagai murid dr. Sigmunt Freud di Amerika. Bettleheim dipercaya mengelola sekolah dan asrama untuk anak-anak gangguan kejiwaan.


Menurutnya, anak-anak autis adalah anak-anak yang ditolak keluarga, terutama sang ibu. Pandangan ini sempat menyebar luas. Tapi kemudian dibantah karena ternyata orangtua dari anak autis sangat menyayangi anaknya. Teori Bettleheim ini kemudian ditolak mentah-mentah. Bahkan belakangan Bettleheim meninggal karena bunuh diri. Diketahui pula bahwa Bettleheim bukanlah ahli pendidikan, psikolog, apalagi murid Sigmunt Freud.


Pada tahun 1964, Benhard Remland seorang psikolog dan ayah seorang autis berhipotesa bahwa kelainan susunan saraf pusat mungkin melandasi gejala autisme. Pada tahun 1950, Margareth Bauman dari Departement of Neurology, Harvard Medicene Scholl, dan Erik Courchense dari Departement of Neurosains, University of California, San Diego, menemukan kelainan susunan saraf pusat (SSP) pada beberapa tempat dari anak autis.


Kelainan itu berupa pengecilan Cerebellum (otak kecil) terutama Lobus VI-VII. Lobus VI-VII berisi sel-sel Purkinje, yang memproduksi Neurotransmiter Cerotonin. Pada anak autis, jumlah sel Purkinje sangat kurang, akibatnya produksi Cerotonin berkurang sehingga penyaluran rangsang/informasi antar sel otak kacau.


Selanjutnya ditemukan pula kelainan struktur pada pusat emosi dalam otak (sistem limbik), yang bisa menerangkan kenapa emosi anak autis sering terganggu. Penemuan ini membantu para dokter untuk memberikan terapi yang bekerja pada SSP dan mampu memperbaiki emosi, proses pikir dan perilaku. Hasilnya, anak menjadi lebih mudah bekerja sama sehingga terapi lain dapat berjalan.


Pada tahun 1997, seorang anak autis dapat “sembuh” setelah diberikan sekretin (hormone perangsang pankreas sehingga lancer memproduksi enzim peptidase). Selanjutnya banyak orangtua memburu sekretin untuk anak autisnya, tapi tidak semua berhasil baik. Hal ini menunjukkan bahwa pencetus autisme pada masing-masing anak berbeda-beda.


Pada tahun 1998, seorang dokter ahli pencernaan bernama dr. Andrew Wakefield, yang berkebangsaan Inggris, dengan endoskopi menjumpai peradangan usus pada kebanyakan anak autis, yang disebabkan karena virus campak yang sama dengan virus campak yang disuntikkan melalui vaksinasi MMR. Akibatnya, sejak saat itu banyak orangtua yang menolak imunisasi MMR pada anaknya. Atas hasil penelitiannya, dokter Wakefield dipecat dari Royal College Hospital.


Namun di saat yang hampir bersamaan, beberapa orang di Amerika melakukan riset yang hampir sama dengan Wakefield. Berdasarkan hasil riset tersebut, maka dilakukan juga riset mengenai terapi diet untuk anak autis. Sementara itu dokter Wakefield pindah bekerja sebagai kepala bagian riset di International Child Development Resource Centre di Florida.


Pada tahun 2000, Sallie Bernard, ibu seorang anak autis meneliti vaksin yang memakai Themerosal dan menemukan bahwa gejala anak autis hampir sama dengan gejala keracunan merkuri. Sampai sekarang penelitian tentang autisme terus berkembang seiring dengan makin meningkatnya penemuan anak-anak autis. Berdasarkan Centre of Disease Control and Prevention (CDC), sekarang 1 di antara 166 kelahiran anak di Amerika berada dalam spektrum autisme. Peningkatan kasus ini juga terjadi di Indonesia.

Perkembangan Autisme di Indonesia
Setiap tahun jumlah penderita autis di Indonesia terus mengalami peningkatan. Kementerian Kesehatan (dulu Departemen Kesehatan) mencatat, angka penderita autis di Indonesia tahun 2004 sebanyak 475 ribu penderita. Dan sekarang diperkirakan setiap 1 dari 150 anak yang lahir, menderita autis.


Walaupun autis telah ditemukan sejak tahun 1943, namun penyebab pasti akan gangguan yang menyebabkan seorang anak memiliki kelemahan dalam berkomunikasi, berinteraksi sosial dan berimajinasi dengan orang lain ini, masih belum diketahui. Terbatasnya informasi soal autis ini membuat banyak orangtua seringkali keliru dalam memahami dan menangani anaknya yang autis.


Sejauh ini banyak disebut soal penyebab timbulnya autis. Mulai dari faktor gaya hidup, polusi udara, narkotika, makanan yang tercemar limbah, misalnya ikan laut, dan sayuran yang masih mengandung pestisida, keracunan logam berat, virus dari vaksin, alergi, dan lain-lain. Namun secara ilmiah medis, belum ada kesepakatan soal penyebab autis ini. Sebagian para ahli menduga adanya faktor genetis, tetapi ini pun belum ada bukti ilmiah yang sahih.


Sementara, gejala autisme yang menyerang Indonesia muncul sekitar tahun 1990. "Gejala ini muncul pada siapa saja, tidak peduli ras, pendidikan maupun golongan ekonomi sosial," kata Ketua Yayasan Autisma Indonesia (YAI) dr. Melly Budhiman saat menjadi pembicara pada seminar tentang autisme di Graha Sucofindo, pertengahan April lalu. Menurutnya, kurangnya pengetahuan masyarakat Indonesia tentang autisme membuat penanganan yang dilakukan tidak maksimal. Padahal autisme membutuhkan penanganan jangka panjang, tidak bisa main instan alias cukup sekali datang.


YAI melihat kurangnya tenaga profesional dalam menangani anak autis di Indonesia menjadi salah satu penyebab penanganan yang tidak maksimal. Hal ini masuk akal, sebab negeri ini baru mempunyai 40 psikiater anak yang khusus menangani masalah autisme. YAI sendiri memandang penting upaya sosialisasi mengenai autisme sehingga masyarakat bisa memahami secara benar informasi dan penanganannya. Serta dapat mengedukasi masyarakat yang belum mengerti autisme, sehingga tidak ada lagi penghinaan, ejekan, maupun pelecehan terhadap para penyandang autis.


Penanganan autisme di Indonesia berjalan lambat, juga karena banyaknya permasalahan lain yang dihadapi. Permasalahan autisme di Indonesia terbilang rumit. Geografi negara kepulauan ini tidak mendukung untuk dapat menjangkau anak-anak autistik di pulau-pulau yang jauh dari pulau Jawa. Masyarakat Indonesia yang multietnis dan multikultur menyebabkan penanganan autisme sangat beragam.


Sementara para profesional yang mengerti autisme selain jumlahnya masih sangat sedikit, juga terkumpul di kota-kota besar di pulau Jawa. Selain itu, biaya terapi yang mahal dan berkepanjangan menjadi tidak terjangkau oleh golongan sosial ekonomi menengah ke bawah. Lebih parah lagi, pendidikan untuk anak autistik belum bisa dilaksanakan dengan baik karena kurangnya kesiapan sekolah-sekolah, dengan guru yang belum terdidik dalam menangani anak berkebutuhan khusus.


Sementara peran pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan Nasional, belum bisa berbuat banyak untuk anak-anak autistik di Indonesia. Kementerian Kesehatan masih terlalu sibuk dalam menangani kasus-kasus yang lebih gawat, yang bisa menyebabkan kematian, seperti flu burung, flu babi, anak-anak yang busung lapar, dan lain sebagainya.


Anak autistik tidak mendapat prioritas oleh karena keadaannya tidak gawat dan autisme tidak menyebabkan kematian. Yang tidak terpikirkan oleh pemerintah adalah bahwa bila mereka tidak ditangani dengan benar maka anak tersebut akan menjadi sosok dewasa yang tidak bisa mandiri dan menghidupi diri sendiri. Ia akan menjadi beban bagi keluarganya maupun pemerintah.


Sementara Kementerian Pendidikan Nasional memang telah mengeluarkan himbauan pada semua sekolah umum untuk menerima anak-anak berkebutuhan khusus. Namun kesiapan guru-guru untuk memberikan pendidikan masih jauh dari memadai. Mereka masih harus dibekali pengetahuan dan keterampilan mengenai autisme dan bagaimana mereka harus menghadapi anak-anak ini di sekolah. Juga harus mengetahui proses mengajar pada anak berkebutuhan khusus. Ketidaksiapan guru-guru ini menyebabkan sekolah sering menolak untuk menerima anak berkebutuhan khusus.


Sejauh ini, pemerintah baru akan mencanangkan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk penyandang autis. Menurut Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, pemerintah menargetkan 1000 sekolah khusus bagi penyandang autisme pada tahun 2014 dari sekitar 200 sekolah khusus yang ada saat ini.


Dalam penyelenggaraan pendidikan bagi individu autistik, terang Fasli, sekolah tidak hanya dapat mempersiapkan materi yang tepat, tetapi juga siap dalam menjembatani masalah hambatan komunikasi, dan penanganan masalah perilaku yang mungkin saja terjadi di sekolah. Pemerintah bahkan memberikan insentif khusus bagi sekolah umum yang bersedia menerima dan mendidik anak berkebutuhan khusus. "Pendidikan ini dimaksudkan untuk memberikan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah umum bersama teman-teman lainnya yang normal," kata Fasli Jalal dalam acara Expo Peduli Autisme di Graha Sucofindo, pertengahan April lalu.

Penutup
Sejak kemunculannya pada tahun 1943, jumlah individu autistik terus mengalami peningkatan. Padahal berbagai treatment, terapi dan penanganan terus dilakukan. Sejumlah ahli tak henti melakukan penelitian untuk mencari tahu penyebab sesungguhnya autisme. Tapi sampai saat ini, penyebab itu masih belum dapat terjawab.


Berbagai pihak, termasuk juga pemerintah di berbagai negara, telah pula memberikan solusi bagi diminimalisirnya jumlah individu autistik. Tapi jangankan berkurang, pengetahuan masyarakat untuk soal itu pun masih harus terus ditumbuhkan. Kurangnya sosialisasi menjadi penyebab betapa individu autistik masih dianggap “setengah manusia”.


Karena itulah, perjalanan sejarah autis yang telah 67 tahun, sejak Leo Kanner menemukan 11 anak “aneh” terus menyisakan pertanyaan berat bagi para orangtua, para ahli, para peneliti, dan pemerintah. Tapi di balik ketiadaan jawaban untuk mengatasinya, siapa pun masih dapat bernafas lega dengan perjalanan banyak individu autistik yang brilian dan berjalan normal, seperti Temple Grandin. Grandin seolah ingin menyudahi misteri yang belum terungkap itu dengan kecemerlangan yang disuguhkannya. (Dirangkum dari berbagai sumber)


Mengenal Berbagai Terapi Anak Autis

Tak ada penyembuh yang pasti bagi seorang anak autis. Berbagai treatment dan terapi dilakukan hanya untuk menunjukkan pada bagaimana memaksimalkan potensi anak serta membantu anak dan keluarganya agar memiliki kemampuan yang lebih efektif dalam menghadapi gejala-gejala autis.


Selain itu berupaya untuk mengurangi defisit dan kesusahan keluarga berhubungan dengan autisme dan gangguan spektrum autisme (ASD) dan meningkatkan kualitas hidup serta kemandirian fungsional individu autis, terutama anak-anak. Keberhasilan treatment dan terapi turut dipengaruhi oleh berat/ringannya simptom, derajat gangguan bahasa, tingkat keberfungsian intelektual, serta kapan dimulainya pemberian treatment dan terapi tersebut.


Anak autis yang ditangani secara lebih dini cenderung menunjukkan hasil yang lebih baik. Penyandang autis yang memiliki kesempatan terdiagnosis lebih awal memungkinkan tatalaksana yang lebih dini dengan hasil yang lebih baik. Deteksi dini sangat penting dan berpengaruh terhadap prognosis penyandang.


Upaya deteksi dini yang optimal ini memerlukan kerjasama yang baik antara orangtua dan dokter, baik dokter umum atau dokter anak dalam melakukan screening terhadap penyandang yang dicurigai autis. Baru setelah itu, berbagai treatment dan terapi dijalankan. Sejauh ini berbagai terapi autis, baik yang diakui oleh dunia medis maupun yang masih berdasarkan disiplin ilmu tradisional, dilakukan. Beberapa terapi itu membawa dampak baik, tapi ada pula yang berdampak buruk.


Berikut beberapa terapi tersebut yang dihimpun dari berbagai sumber:

1. Applied Behavioral Analysis (ABA)
Merupakan jenis terapi berdasarkan penelitian dan telah lama dipakai dan didesain khusus untuk anak dengan autisme. Sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/pujian). Saat ini terapi ABA termasuk yang paling banyak dipakai di Indonesia.

2. Terapi Wicara
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autistik yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang. Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu memakai bicaranya untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat menolong.

3. Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pensil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan ke mulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot -otot halusnya dengan benar.

4. Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak di antara individu autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.

5. Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang komunikasi dan interaksi. Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam keterampilan berkomunikasi dua arah, membuat teman dan main bersama di tempat bermain. Seorang terapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara-caranya.

6. Terapi Bermain
Meskipun terdengar aneh, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi sosial. Seorang terapis bermain bisa membantu anak melalui teknik-teknik tertentu.

7. Terapi Perilaku
Anak autistik seringkali merasa frustrasi. Teman-temannya seringkali tidak memahami mereka sehingga mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya. Mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya.

8. Terapi Perkembangan
Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention) dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat perkembangannya. Kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan keterampilan yang lebih spesifik.

9. Terapi Visual
Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat. Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar. Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan keterampilan komunikasi.

10. Terapi Biomedik
Terapi ini dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam Defeat Autism Now. Banyak dari para perintisnya mempunyai anak autistik. Mereka sangat gigih melakukan riset dan menemukan bahwa gejala-gejala anak ini diperparah oleh adanya gangguan metabolisme yang akan berdampak pada gangguan fungsi otak. Oleh karena itu anak-anak ini diperiksa secara intensif, mulai pemeriksaan darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal yang ditemukan dibereskan, sehingga otak menjadi bersih dari gangguan. Ternyata lebih banyak anak mengalami kemajuan bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari dalam tubuh sendiri (biomedis).

11. Terapi Akupunktur
Metode tusuk jarum ini diharapkan bisa menstimulasi sistem saraf pada otak hingga dapat bekerja kembali.

12. Terapi Musik
Lewat terapi ini, musik memberikan getaran gelombang yang akan berpengaruh terhadap permukaan membran otak. Secara tak langsung itu akan turut memperbaiki kondisi fisiologis. Harapannya, fungsi indera pendengaran menjadi hidup sekaligus merangsang kemampuan berbicara. Musik menggunakan unsur-unsur musik untuk membiarkan anak-anak mengungkapkan perasaan mereka dan berkomunikasi.

13. Terapi Balur
Banyak yang yakin autisme disebabkan oleh tingginya zat merkuri pada tubuh penderita. Nah, terapi balur ini bertujuan mengurangi kadar merkuri dalam tubuh penyandang autis. Caranya dengan menggunakan cuka aren campur bawang yang dilulurkan lewat kulit. Tujuannya melakukan detoksifikasi gas merkuri.

14. Terapi Anggota Keluarga
Orangtua harus mendampingi dan memberi perhatian penuh pada sang anak hingga terbentuk ikatan emosional yang kuat. Umumnya, terapi ini merupakan terapi pendukung yang wajib dilakukan untuk semua jenis terapi lain.

15. Terapi Lumba-lumba
Telah diketahui oleh dunia medis bahwa di tubuh lumba-lumba terkandung potensi yang bisa menyelaraskan kerja saraf motorik dan sensorik penderita autis. Sebab lumba-lumba mempunyai gelombang sonar (gelombang suara dengan frekuensi tertentu) yang dapat merangsang otak manusia untuk memproduksi energi yang ada dalam tulang tengkorak, dada, dan tulang belakang, sehingga dapat membentuk keseimbangan antara otak kanan dan kiri. Selain itu, gelombang suara dari lumba-lumba juga dapat meningkatkan neurotransmitter.

16. Terapi dengan Hewan
Binatang seperti anjing atau kuda menjadi bagian dasar dari terapi ini. Sebuah meta-analisis menemukan bahwa terapi yang dibantu binatang dikaitkan dengan perbaikan yang moderat dalam spektrum gejala autis.

17. Packing dalam Kemasan
Anak-anak dibungkus erat hingga satu jam dalam lembaran basah yang telah didinginkan, dengan hanya kepala mereka dibiarkan bebas. Perawatan diulang beberapa kali seminggu, dan dapat berlanjut selama bertahun-tahun. Hal ini dimaksudkan sebagai terapi bagi anak-anak autistik yang merugikan diri mereka sendiri. Dan sebagian besar anak-anak ini tidak bisa bicara. Packing saat ini digunakan di ratusan klinik Perancis. Tetapi tidak ada bukti ilmiah tentang efektivitas pengepakan tersebut. Yang ada justru beberapa keprihatinan tentang risiko yang merugikan kesehatan.

18. Terapi Listrik
Penggunaan terapi kejutan listrik yang dikirimkan ke kulit selama beberapa detik ini untuk mengendalikan tingkah laku dari pasien autistik. Praktek ini kontroversial. Metode dan teori-teorinya disederhanakan dan tidak didukung oleh penelitian yang dirancang dengan hati-hati. (autis.info serta berbagai sumber lain)

0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial