Siang itu mata saya terbelalak didepan televisi. Sebuah liputan kriminal menayangkan liputan tentang seorang anak Tuna Ganda berumur 10 tahun yang dibuang oleh ayah kandungnya di pinggir jalan desa Mangunsuman Ponorogo. Seribu perasaan menyergap hati saya. Saya peluk kedua anak istimewa saya dengan segenap haru yang tiba tiba menyeruak.
Saya bersyukur meski kedua anak perempuan saya penyandang Microchephaly mereka tidak menyandang Tuna Ganda sehingga harus senantiasa bergantung penuh pada orang lain. Saya juga bersyukur punya suami yang sangat mencintai anak anak kami yang bersedia mendampingi saya berjuang untuk kemandirian anak anak kami. Saya bersyukur atas anugerah rizki yang meski tak berlimpah namun suami saya masih bisa memperoleh penghasilan yang cukup untuk kami hidup sederhana. Saya bersyukur karena tak sampai gelap mata bila saya letih menghadapi anak anak saya.
Sungguh saya sangat bersyukur atas limpahan berkah dalam kehidupan saya. Saya juga memohon ampun kepada Sang Khalik, betapa seringnya saya mengeluh akan beratnya ujian yang saya terima. Apa yang saya jalani mestinya sangat tak sebanding dengan apa yang dialami oleh Mesiran ayah kandung Nanang Akhroni.
Mesiran hanya seorang lelaki biasa yang harus kalah dalam perjuangan membesarkan Nanang putranya, meski sudah berusia 10 tahun Nanang tak mampu melakukan apapun dan mesti dirawat layaknya bayi. Himpitan beban ekonomi ditambah ujian anak seperti Nanang membuat biduk rumah tangganya harus karam ditengah jalan. Tak punya penghasilan ditambah Nanang yang membutuhkan perhatian penuh membuat Mesiran gelap mata. Dengan harapan akan ada yang menemukan dan merawat Mesiran memasukan Nanang dalam kardus televisi berikut seluruh pakaiannya dan membuangnya di pinggir jalan desa Mangunsaman Ponorogo.
Saya tak ingin menghakimi Mesiran sebagai ayah biadab. Saya tak mampu menuding sesama orang tua anak istimewa bila ia melakukan kekhilafan karena tanpa embel- embel kesulitan ekonomi dan perceraian saja, hidup sudah terasa berat bagi orangtua anak Istimewa, apalagi hidup seperti Mesiran.
Mesiran dan Nanang adalah potret buram perlindungan Negara terhadap anak istimewa. Kepedulian kita lah yang mungkin dapat membantu mesiran mesiran lain yang bertebaran di seluruh pelosok negeri. Tentu kita juga berharap Pemerintah lebih berempati terhadap penderitaan warga miskin terutama anak anak istimewa yang juga tak punya akses pendidikan dan kesehatan yang layak. Kami juga berharap makin banyak pihak yang peduli terhadap anak anak berkebutuhan khusus ini. Mereka anak anak kita juga. ( Ibu Embun)
Selasa, 17 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar